infomalang.com/ – Kabar mengejutkan datang dari Kota Malang. Di tengah ramai perbincangan publik soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah, termasuk protes keras warga Pati terhadap kebijakan Bupati Sadewo, Wali Kota Malang justru mengambil langkah berbeda. Pemerintah Kota (Pemkot) Malang berencana menggratiskan PBB bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang nilai tanggungannya tergolong kecil.
Rencana tersebut diinisiasi oleh Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat. Dalam keterangannya pada Jumat, 15 Agustus 2025, Wahyu menjelaskan bahwa kebijakan ini akan berlaku mulai tahun 2026 dan menyasar warga yang memiliki tanggungan PBB di bawah Rp30.000. Menurutnya, langkah ini bertujuan memberikan keringanan kepada masyarakat yang terdampak perubahan tarif pajak akibat regulasi baru.
“Tahun depan, yang PBB-nya sampai dengan Rp30.000 akan kami gratiskan,” ujar Wahyu dengan tegas.
Respon Terhadap Kenaikan Tarif PBB
Kebijakan ini muncul sebagai bentuk respon atas potensi kenaikan PBB yang diakibatkan oleh perubahan tarif dari 0,055 persen menjadi 0,2 persen. Perubahan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Perda Nomor 4 Tahun 2023 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Namun, Wahyu memastikan bahwa meskipun tarif berubah menjadi single tarif, beban yang harus dibayarkan warga tidak akan melonjak. Hal ini karena kepala daerah memiliki kewenangan untuk memberikan stimulus atau keringanan pajak yang nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Wali Kota (Perwal).
“Perwal ini sekarang masih dalam tahap penyusunan. Isinya nanti akan mengatur mekanisme pemberian keringanan PBB ini agar tepat sasaran,” jelasnya.
Dampak Kebijakan Terhadap Wajib Pajak
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanti, mengungkapkan bahwa terdapat 57.311 wajib pajak yang akan terdampak langsung oleh kebijakan ini. Seluruh wajib pajak tersebut akan dibebaskan dari kewajiban membayar PBB mulai tahun depan.
Berdasarkan perhitungan Bapenda, kebijakan ini akan membuat Pemkot Malang kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp1 miliar per tahun. Meski demikian, angka tersebut dinilai tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan penghapusan pajak di sektor lain.
“Kalau dibandingkan dengan penghapusan Pajak Jasa dan Barang Tertentu (PJBT) di sektor makanan dan minuman, potensi kehilangan penerimaannya jauh lebih besar, yakni sekitar Rp7 miliar dari 1.000 wajib pajak,” ujar Handi.
Ia menegaskan bahwa Pemkot Malang akan tetap menjaga agar target Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mengalami penurunan, meski ada penghapusan PBB untuk kategori tertentu.
Baca Juga:Sasa Rayakan Momen Kemerdekaan HUT RI ke-80 Tahun Lewat Animasi 17-an
Strategi Pemkot Menjaga PAD
Agar target PAD tetap tercapai, Pemkot Malang akan fokus mengoptimalkan pendapatan dari sektor-sektor lain yang memiliki potensi besar. Salah satunya adalah dengan memperkuat pengawasan dan sistem pembayaran pajak berbasis digital, sehingga kebocoran penerimaan dapat diminimalkan.
Selain itu, Pemkot juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata, perdagangan, dan jasa yang berpotensi meningkatkan pendapatan pajak. Dengan strategi ini, diharapkan kebijakan penghapusan PBB tidak mengganggu stabilitas keuangan daerah.
Wali Kota Wahyu Hidayat menambahkan, pemberian keringanan pajak seperti ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah di tengah masyarakat. Ia ingin memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berorientasi pada pendapatan daerah, tetapi juga mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warga.
“Kebijakan ini untuk meringankan beban masyarakat. Apalagi, PBB adalah pajak yang langsung dirasakan oleh warga setiap tahun. Dengan penghapusan bagi yang di bawah Rp30.000, kami ingin memberikan sedikit ruang lega bagi mereka,” tegas Wahyu.
Perbandingan dengan Daerah Lain
Menariknya, langkah Kota Malang ini berbanding terbalik dengan kondisi di Kabupaten Pati. Di sana, kenaikan tarif PBB justru memicu gelombang protes masyarakat. Bahkan, sejumlah warga menginisiasi gerakan untuk melengserkan bupati sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana perbedaan pendekatan dalam mengelola pajak daerah dapat memengaruhi hubungan pemerintah dengan warganya. Sementara di Pati, kebijakan pajak menjadi sumber ketegangan, di Malang justru diharapkan dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meskipun kebijakan penghapusan PBB ini mendapat sambutan positif, Pemkot Malang tetap menghadapi tantangan dalam implementasinya. Salah satunya adalah memastikan bahwa data wajib pajak yang mendapat penghapusan benar-benar akurat dan mutakhir.
Penggunaan teknologi informasi akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Dengan sistem yang terintegrasi, Pemkot bisa meminimalkan risiko salah sasaran dan memastikan transparansi kepada publik.
Dari sisi masyarakat, diharapkan kebijakan ini dapat mendorong kesadaran untuk tetap patuh membayar pajak bagi mereka yang tidak termasuk kategori penerima keringanan. Kesadaran ini penting agar PAD tetap terjaga dan pembangunan di Kota Malang dapat berjalan optimal.
Di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, langkah Pemkot Malang ini dapat menjadi contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat sasaran mampu memberikan dampak positif bagi kesejahteraan warga.
Baca Juga:Pemkot Malang Gelar Cek Kesehatan Gratis bagi ASN dan Non-ASN















