Pemerintah Indonesia akan mulai menerapkan kebijakan bahan bakar campuran etanol 10 persen atau E10 pada semua jenis bensin yang beredar di pasaran mulai tahun depan. Langkah ini menjadi bagian dari upaya besar menuju kemandirian energi nasional serta pengurangan ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil yang selama ini membebani neraca perdagangan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyampaikan, implementasi E10 merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia mempercepat transisi energi dan mengoptimalkan potensi bahan baku lokal.
“Mulai tahun depan, kita akan pakai bensin campuran 10 persen etanol. Ini bagian dari program besar untuk mewujudkan swasembada energi nasional,” ujar Zulkifli Hasan, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, penerapan BBM berbasis etanol tidak hanya menekan impor minyak, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi sektor pertanian dan industri lokal. Pemerintah menargetkan penggunaan etanol akan memacu tumbuhnya industri berbahan baku jagung, singkong, dan tebu, yang selama ini menjadi sumber utama bioetanol.
“Kalau nanti kita menuju E10, berarti industrinya harus dibangun. Artinya, petani jagung, singkong, dan tebu akan diuntungkan. Tidak ada lagi tanah kosong, semua bisa produktif,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa kebijakan E10 sudah mendapat restu dari Presiden. Program ini akan dijalankan secara bertahap mulai 2026 dan menjadi bagian dari peta jalan transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.
“Presiden sudah menyetujui mandatory 10 persen etanol pada bensin. Dengan begitu, impor minyak bisa ditekan dan kita mempercepat pencapaian target energi bersih,” ujar Bahlil dalam acara Indonesia Langgas Berenergi di Jakarta, awal Oktober lalu.
Ia menambahkan, pemerintah juga tengah menyiapkan peningkatan kadar biosolar dari B40 ke B50 sebagai langkah lanjutan. Dengan demikian, kombinasi bioetanol dan biodiesel diharapkan menjadikan Indonesia semakin mandiri di bidang energi.
Kebijakan E10 tak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan kendaraan yang beredar di Indonesia. Menanggapi hal itu, sejumlah produsen otomotif besar seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Hyundai menyatakan bahwa kendaraan mereka sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol hingga 10 persen.
Mengutip buku panduan Toyota Avanza, pabrikan memperbolehkan penggunaan bensin campuran etanol hingga 10% dengan catatan angka oktannya sesuai spesifikasi kendaraan. Hal serupa juga disebut dalam panduan Mitsubishi Xpander dan Hyundai Stargazer, yang menegaskan bahwa penggunaan etanol di atas 10% tidak disarankan karena bisa mempengaruhi sistem bahan bakar dan emisi.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyebut kendaraan yang diproduksi sejak tahun 2000 umumnya sudah dirancang untuk kompatibel dengan bahan bakar E10 tanpa perlu modifikasi tambahan.
Baca Juga: Kementerian PKP Dorong Sinergi Nasional untuk Percepatan Program 3 Juta Rumah, Fokus ke Malang Raya
“Kami sudah melakukan berbagai kajian dan uji coba. Mobil-mobil produksi setelah tahun 2000 seharusnya sudah bisa menggunakan E10 tanpa kendala berarti,” katanya.
Namun, tidak semua kendaraan akan langsung cocok dengan bahan bakar etanol. Pengamat otomotif Yannes Pasaribu menilai, kendaraan dengan teknologi lama, terutama produksi sebelum tahun 2010, berpotensi mengalami masalah bila dipaksakan memakai BBM E10.
“Material pada saluran bahan bakar kendaraan lama umumnya belum tahan terhadap etanol di atas 5 persen. Akibatnya, pipa atau penutup karetnya bisa getas dan berisiko bocor,” jelas Yannes.
Selain itu, kendaraan tua yang masih menggunakan tangki logam tanpa pelapis khusus juga rentan terhadap korosi karena sifat etanol yang mudah menyerap air. Masalah lain muncul pada sistem Engine Control Unit (ECU) lama yang tidak adaptif, sehingga pembakaran menjadi tidak efisien dan performa mesin menurun.
Selain meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, penerapan E10 diyakini mampu memperbaiki kualitas udara di perkotaan. Campuran etanol dalam bensin dapat menurunkan emisi karbon dioksida (CO₂) hingga 10 persen dibandingkan BBM murni.
Dari sisi ekonomi, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru di sektor bioenergi. Pengembangan pabrik bioetanol dari tebu dan singkong diperkirakan menyerap puluhan ribu tenaga kerja di pedesaan, sekaligus meningkatkan pendapatan petani lokal.
“Dengan kebijakan ini, negara hadir bukan hanya untuk mengurangi impor, tapi juga meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tegas Zulkifli Hasan.
Ia menambahkan, pemerintah menargetkan seluruh infrastruktur produksi dan distribusi bioetanol siap pada pertengahan 2026. Pertamina juga disebut akan memperluas pasokan Pertamax Green, produk bensin beretanol 5 persen yang telah lebih dulu dipasarkan, menjadi versi E10 dalam waktu dekat.
Dengan dukungan berbagai pihak, Indonesia kini berada pada jalur strategis menuju kemandirian energi. Kebijakan BBM E10 bukan hanya simbol transisi energi hijau, tetapi juga wujud nyata keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil dan pelaku ekonomi lokal.
“Ini bukan hanya soal bahan bakar, tapi tentang bagaimana bangsa ini berdiri di atas kakinya sendiri,” tutup Zulkifli Hasan.
Baca Juga: Investasi Dalam Negeri Tumbuh Signifikan, Gantikan Peran PMA yang Melemah















