Ketahanan pangan adalah pilar utama stabilitas nasional. Untuk memastikan bahwa kelompok masyarakat prasejahtera memiliki akses berkelanjutan terhadap kebutuhan dasar, Bantuan Pemerintah dalam bentuk Non-Tunai telah menjadi instrumen kebijakan andalan.
Skema ini, yang di Indonesia diwujudkan melalui program seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) atau Kartu Sembako, menandai pergeseran signifikan dari sistem pembagian beras dan sembako fisik ke platform digital.
Transisi ini bertujuan meningkatkan akuntabilitas, mengurangi potensi penyelewengan, dan yang paling penting, memberikan efektivitas yang lebih tinggi dalam menjaga ketahanan pangan keluarga miskin.
Penerima manfaat kini memiliki kebebasan terbatas untuk memilih jenis dan kualitas bahan pangan di e-warung (agen penyalur), yang secara teori memberdayakan mereka.
Namun, implementasi sistem non-tunai ini tidak luput dari tantangan distribusinya yang kompleks, terutama di wilayah terpencil.
Artikel ini akan membedah tujuan mulia di balik kebijakan non-tunai, mengevaluasi sejauh mana efektivitasnya dalam menjaga pangan, dan menyoroti kendala riil yang harus diatasi.
1. Efektivitas Bantuan Non-Tunai dalam Menjaga Ketahanan Pangan
Kebijakan Bantuan Pemerintah non-tunai didasarkan pada prinsip Cash for Food yang dikontrol. Efektivitasnya terlihat dari beberapa aspek kunci.
A. Pengurangan Leakage (Kebocoran)
Dibandingkan bantuan tunai langsung yang rawan digunakan untuk kebutuhan non-pangan (misalnya rokok), skema non-tunai mengikat dana tersebut hanya untuk pembelian bahan pangan pokok (beras, telur, lauk pauk).
Kontrol ini memastikan bahwa intervensi pemerintah secara langsung berdampak pada pemenuhan nutrisi dan ketahanan pangan keluarga.
B. Pemberdayaan Pilihan Konsumen
Dengan menggunakan kartu yang diisi saldo bulanan, penerima manfaat dapat memilih sendiri jenis dan kualitas pangan yang mereka butuhkan dari agen penyalur yang ditunjuk.
Ini sedikit memberdayakan konsumen dan menghindarkan mereka dari menerima barang dengan kualitas yang sudah menurun, yang sering terjadi pada distribusi sembako fisik.
C. Transparansi dan Data
Setiap transaksi tercatat secara digital. Hal ini memudahkan pemerintah dalam memonitor penyaluran dan melakukan tracking terhadap data pengeluaran, yang sangat penting untuk perbaikan kebijakan di masa depan.
2. Tantangan Distribusi dan Implementasi Lapangan
Meskipun konsepnya unggul, tantangan distribusinya muncul saat Bantuan Pemerintah non-tunai diterapkan di wilayah yang memiliki keterbatasan infrastruktur.
A. Keterbatasan E-Warung di Daerah 3T
Di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T), jumlah e-warung (agen penyalur resmi) yang memiliki mesin EDC (Electronic Data Capture) seringkali sangat minim.
Hal ini memaksa penerima manfaat menempuh jarak yang jauh untuk mencairkan bantuan mereka, yang meningkatkan biaya transportasi dan mengurangi nilai manfaat bantuan.
B. Monopoli dan Pilihan Terbatas
Meskipun tujuannya adalah memberi pilihan, pada praktiknya, di beberapa daerah, e-warung yang beroperasi hanya satu atau dua.
Kondisi ini dapat menyebabkan praktik monopoli, di mana penerima manfaat terpaksa membeli barang dengan harga yang tidak kompetitif atau pilihan komoditas yang terbatas, bertentangan dengan semangat pemberdayaan.
C. Akurasi Data dan Exclusion Error
Sama seperti program bansos lainnya, akurasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) adalah masalah klasik.
Masih banyak kasus di mana keluarga miskin yang berhak justru tidak terdaftar (exclusion error), sementara yang tidak layak (inclusion error) masih menerima.
Proses updating dan validasi data oleh pemerintah daerah seringkali berjalan lambat.
3. Strategi Penguatan Kebijakan dan Peningkatan Efektivitas
Untuk meningkatkan efektivitas dan mengatasi tantangan distribusinya, Bantuan Pemerintah harus diperkuat melalui beberapa langkah strategis.
A. Sinergi Perbankan dan E-Warung
Pemerintah perlu memperluas jangkauan layanan perbankan dan memberikan insentif yang lebih besar kepada masyarakat lokal untuk menjadi agen penyalur (e-warung). Hal ini akan mendekatkan akses layanan ke rumah tangga penerima manfaat.
B. Audit Kualitas dan Harga Komoditas
Perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap kualitas dan harga barang yang dijual di e-warung.
Audit reguler dapat mencegah e-warung menjual komoditas di atas harga pasar atau memberikan barang dengan kualitas rendah, sehingga tujuan menjaga ketahanan pangan tercapai secara maksimal.
C. Pembaruan Data Real-Time
Pembaruan DTKS harus dilakukan secara berkala dan real-time, melibatkan partisipasi aktif pemerintah desa/kelurahan serta masyarakat, untuk memastikan bahwa bantuan selalu jatuh ke tangan yang paling membutuhkan.
Bantuan Pemerintah non-tunai merupakan lompatan maju dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Efektivitasnya yang tinggi dalam menjamin dana digunakan untuk pangan telah terbukti. Namun, untuk benar-benar sukses, pemerintah perlu mengatasi tantangan distribusinya di daerah terpencil dan memastikan akurasi data penerima.
Dengan perbaikan yang konsisten, program ini akan menjadi instrumen yang kuat dalam mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.
Baca Juga:PT KAI Imbau Masyarakat Waspada Akun Palsu yang Mengatasnamakan KAI121















