Breaking

Kenaikan PPN Jadi 12%, Bagaimana Dampaknya pada Konsumsi dan Ekonomi Indonesia?

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 menuai perdebatan luas. Kebijakan ini, yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bertujuan meningkatkan kapasitas fiskal menghadapi tantangan ekonomi global dan domestik.

Kebijakan dan Alasan Peningkatan Tarif Pajak

Kenaikan PPN dirancang untuk memperkuat pendapatan negara dan mendukung anggaran pembangunan. Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan bahwa kebijakan ini berisiko menekan konsumsi rumah tangga. “Peningkatan PPN bisa mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah,” ungkap Faisal, Selasa (17/12/2024).

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 59% dari Produk Domestik Bruto (PDB), saat ini tumbuh 4,9%, lebih rendah dibandingkan periode sebelum pandemi yang mencapai 5%. Kenaikan PPN dapat memengaruhi kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dampak pada Konsumsi dan Contoh Global

Berdasarkan pengalaman Jepang, kenaikan PPN dari 8% menjadi 10% pada 2019 menyebabkan konsumsi domestik turun 7,4% pada kuartal pertama. Hal ini menunjukkan risiko nyata terhadap kontraksi konsumsi akibat kenaikan pajak. “Tekanan ini bisa makin berat di tengah inflasi global yang memengaruhi harga kebutuhan pokok,” tambah Faisal.

Baca Juga : Prediksi UMK Malang 2025: Naik Hingga Rp3,5 Juta, Apa Kata Pemkot?

Respon Dunia Usaha dan Risiko Ketimpangan

Dunia usaha juga menghadapi tantangan akibat kenaikan PPN, terutama sektor yang bergantung pada daya beli konsumen. Wakil Ketua Kadin Indonesia, Shinta Kamdani, mengkhawatirkan penurunan permintaan barang dan jasa. “Kenaikan ini memengaruhi operasional usaha kecil dan menengah yang sangat sensitif terhadap perubahan biaya,” ujarnya. Kebijakan ini, jika tidak diimbangi insentif lain, dapat memperburuk ketimpangan sosial.

Baca Juga : PPN Naik Jadi 12% di 2025, Sembako dan Tepung Terigu Dikecualikan