MALANG – Belakangan ini publik dikejutkan oleh dua kematian yang sama-sama janggal, yaitu Zetro Leonardo Purba (40) di Peru dan Arya Daru Pangayunan (39) di Jakarta.
Keduanya merupakan pegawai Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI yang semestinya menjalani kehidupan biasa, namun justru berakhir tragis dalam situasi yang penuh tanda tanya.
Kronologi Kematian Mereka
Zetro ditembak brutal di depan apartemennya pada malam 1 Agustus 2025. Baru saja selesai gowes bersama sang istri, ia disergap oleh pelaku bermotor yang langsung menembakkan tiga peluru, satu di antaranya mengenai kepala.
Anehnya, istrinya tidak disentuh, barang-barang tidak diambil, dan tak ada ancaman sebelumnya. Semua berlangsung rapi, presisi, seolah dilakukan eksekutor profesional. Ini membuat sulit percaya bahwa peristiwa tersebut hanyalah kasus kriminal biasa.
Sementara itu, beberapa bulan sebelumnya, Arya ditemukan meninggal di kamar kosnya di Jakarta. Wajahnya dililit lakban, tubuhnya ditutup selimut, dan posisi jasadnya terlihat rapi.
Polisi buru-buru menyimpulkan kematian itu sebagai bunuh diri, meski logika publik sulit menerima gagasan bahwa seseorang bisa mengakhiri hidup dengan cara melilitkan lakban ke kepalanya sendiri. Apalagi, ponselnya menghilang dan log pintu kamar tidak menunjukkan adanya tanda dibuka paksa.
Kesamaan Kematian Mereka Berdua
Kesamaan mencolok dari kedua kasus ini adalah latar belakang korban, yaitu sama-sama pegawai Kemlu RI. Mereka bukan pejabat tinggi yang sering tampil di televisi, bukan pula figur politik yang berseberangan dengan penguasa.
Namun, keduanya berada pada posisi yang berhubungan langsung dengan beberapa pekerjaan penting negara, dari urusan logistik kedutaan, dokumen penting, hingga advokasi kasus perdagangan orang.
Fakta bahwa dua pegawai dengan peran “di balik layar” ini tewas dengan cara yang tidak wajar tentu mengundang pertanyaan besar. Apakah ini hanya kebetulan tragis, atau ada benang merah yang lebih gelap?
Publik wajar curiga bahwa mereka mungkin mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya bocor keluar. Jika benar demikian, maka kematian mereka bukan hanya kehilangan pribadi, tetapi juga alarm keras tentang kerentanan orang-orang yang bekerja menjaga kepentingan negara.
Baca Juga: Nasib Negara-Negara yang Menerapkan Darurat Militer, Bagaimana Jika Indonesia yang Mengalaminya?
Lebih dari Sekadar Cara Dibunuh
Saya makin yakin, ini bukan lagi soal bagaimana mereka dibunuh, tapi seberapa jauh pelaku siap menyamarkan jejak. Di luar negeri, sebuah pembunuhan brutal bisa saja ditutup dengan narasi “kejahatan lokal.” Tapi di dalam negeri? Permainan harus lebih licin. Harus terlihat alami. Harus bisa ditutup cepat. Bunuh diri, misalnya.
Dua orang, dua cara, tapi satu benang merah. Hal ini kemungkinan keterkaitan dengan TOC (Transnational Organized Crime), kejahatan terorganisir lintas negara. Isinya bisa sindikat perdagangan manusia, penipuan online, penggelapan dana, bahkan aktor-aktor berseragam.
Arya jelas pernah menyentuh ini, karena ia bekerja di direktorat paling rawan, berhubungan langsung dengan korban dan pelaku perdagangan orang. Sementara Zetro, meski bukan penyidik, bertugas di negara yang dikenal sebagai markas mafia Asia. Ia mengurus dokumen-dokumen vital, aliran logistik, bahkan visa-visa mencurigakan.
Bisa jadi, keduanya menyentuh titik yang sama dari arah berbeda. Dan karena itu, mereka harus dilenyapkan.
Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan berikutnya yaitu siapa yang paling diuntungkan dari kematian mereka? Mafia jelas tak suka jika rantai uangnya terganggu. Pejabat korup? Bisa jadi.
Jika Arya atau Zetro memegang bukti yang bisa mengaitkan pejabat dengan sindikat, maka mereka ancaman. Tapi yang lebih menyeramkan adalah kemungkinan adanya sistem yang ikut membantu menutup semua ini.
Kenapa kasus Arya begitu cepat ditutup? Kenapa Zetro yang baru lima bulan bertugas bisa dihabisi dengan cara brutal? Kenapa tidak ada audit terbuka soal pekerjaan mereka? Kenapa CCTV, log digital, dan transaksi internal tidak dibuka ke publik? Dan kenapa kita seolah-olah disuruh lupa?
Diam Merupakan Bagian dari Kejahatan
Dalam dunia kejahatan kelas berat, membungkam bukan cuma soal peluru atau lakban. Tapi juga soal membuat orang lain diam agar tak bertanya, tak ribut, dan membiarkan sistem nyaman melanjutkan bisnisnya.
Zetro dan Arya sudah tidak bisa bercerita. Tapi jejak mereka masih ada. Tinggal kita yang memilih, mau membaca jejak itu, atau pura-pura tidak melihat.
Ini bukan akhir. Justru seharusnya menjadi titik balik. Dan saya berharap, siapa pun yang membaca ini, tidak ikut diam. Karena jika publik diam, media diam, dan orang dalam diam, maka yang tersisa hanya kegelapan. Dan dua nyawa itu akan benar-benar lenyap tanpa makna.
Baca Juga: DPR RI Beri Jawaban 17+8 Tuntutan Rakyat dalam Konferensi Pers Terkini, Umumkan 6 Poin Keputusan















