infomalang.com/ – Indonesia kini memasuki babak baru dalam upaya dekarbonisasi sektor transportasi udara. Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan untuk menerapkan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan mulai tahun 2026.
Langkah ini menjadi bagian penting dari komitmen nasional dalam menekan emisi karbon dan mendukung target net zero emission pada 2060. Pejabat Kementerian Energi, Edi Wibowo, mengatakan bahwa penerapan awal akan dimulai dengan campuran 1% SAF (Sustainable Aviation Fuel).
Kebijakan ini akan diberlakukan untuk penerbangan internasional dari Jakarta dan Bali, dua bandara tersibuk di Indonesia yang menjadi pusat konektivitas udara Asia Tenggara.
Dukungan Penuh dari Pertamina
Perusahaan energi pelat merah, Pertamina, telah lebih dulu mengambil langkah konkret dengan memproduksi Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan berbasis minyak goreng bekas (UCO).
Produksi SAF ini dilakukan di salah satu unit kilang milik Pertamina, dan dua kilang lain sedang dipersiapkan untuk memproses bahan bakar serupa. Langkah ini memperlihatkan keseriusan Indonesia dalam menciptakan solusi energi yang lebih berkelanjutan dan inovatif.
Pertamina menyebut, teknologi pengolahan UCO menjadi bahan bakar penerbangan dapat mengurangi emisi karbon hingga 80% dibandingkan avtur konvensional.
Dampak Positif untuk Lingkungan dan Ekonomi
Penerapan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan diharapkan memberikan dampak ganda: memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.
Selain itu, kebijakan ini juga akan mendorong terciptanya rantai pasok baru di sektor energi hijau, terutama dari pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah.
Pemerintah memperkirakan Indonesia memiliki potensi produksi 3–4 juta kiloliter UCO per tahun, jumlah yang cukup besar untuk menopang program SAF jangka panjang.
Baca Juga:Waspada! Gempa Bermagnitudo 4.3 Guncang Kabupaten Malang, Begini Kondisi Terkini Warga
Langkah Bertahap Menuju 2035
Edi Wibowo menjelaskan, pemerintah sedang menyusun regulasi untuk menerapkan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan secara bertahap.
Pada tahap awal, campuran bahan bakar berkelanjutan ditargetkan 1% di tahun 2026, lalu meningkat menjadi 5% pada 2035. Langkah bertahap ini dipilih agar industri penerbangan memiliki waktu adaptasi terhadap biaya produksi dan distribusi SAF.
Kementerian Energi juga tengah berkoordinasi dengan maskapai nasional dan operator bandara untuk memastikan kesiapan infrastruktur, termasuk sistem penyimpanan dan distribusi bahan bakar baru.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meski potensinya besar, penerapan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan juga menghadapi tantangan, terutama dari sisi harga dan ketersediaan bahan baku.
Biaya produksi SAF masih lebih tinggi dibandingkan avtur biasa. Namun, pemerintah berencana memberikan insentif fiskal dan subsidi awal untuk mempercepat penerapan program ini.
Langkah ini juga menjadi sinyal kuat bagi investor dan produsen energi hijau bahwa Indonesia siap menjadi pemain utama dalam industri bahan bakar penerbangan berkelanjutan.
Komitmen Global Menuju Penerbangan Berkelanjutan
Kebijakan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional seperti ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional), yang mendorong setiap negara untuk menurunkan emisi karbon penerbangan secara signifikan.
Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang telah lebih dulu menerapkan SAF di sektor aviasi mereka. Dengan langkah ini, Indonesia menegaskan diri sebagai bagian dari upaya global menuju transportasi udara berkelanjutan.
Bagi maskapai nasional, penerapan SAF tidak hanya tentang kepatuhan regulasi, tetapi juga tentang reputasi dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Potensi Indonesia Jadi Pusat Produksi SAF Asia Tenggara
Dengan kapasitas produksi sawit yang besar dan ketersediaan minyak goreng bekas, Indonesia berpeluang menjadi produsen utama Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan di kawasan Asia Tenggara.
Pertamina, bersama lembaga riset nasional, kini tengah mengembangkan teknologi baru agar konversi UCO ke SAF lebih efisien dan hemat biaya. Pemerintah juga berencana menjajaki ekspor SAF ke negara lain di masa depan.
Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai pemasok energi hijau global.
Menuju Langit Lebih Bersih di 2026
Dengan langkah awal penerapan Bahan Bakar Penerbangan Ramah Lingkungan pada 2026, Indonesia menunjukkan komitmen kuat untuk mengurangi jejak karbon di sektor penerbangan.
Kebijakan ini menjadi pondasi penting menuju industri aviasi berkelanjutan dan memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang serius menghadapi krisis iklim.
Jika berhasil, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam mengintegrasikan energi hijau ke sektor strategis seperti penerbangan — menuju masa depan langit yang lebih bersih, biru, dan ramah lingkungan.
Baca Juga:Kekuatan Udara RI Ditingkatkan, 42 Jet Tempur China Siap Perkuat TNI AU















