Di tengah makin menyusutnya lahan pertanian di kawasan perkotaan, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang justru kian gencar mengembangkan konsep urban farming. Inisiatif ini digerakkan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Dispangtan) sebagai jawaban cerdas atas tantangan ketahanan pangan di daerah perkotaan. Program ini menyasar pekarangan rumah warga, ruang terbuka publik, hingga lahan tidur agar tetap produktif.
Kepala Dispangtan Kota Malang, Slamet Husnan, menjelaskan bahwa urban farming bukan hanya sekadar menanam sayur. Konsepnya jauh lebih luas karena memadukan budidaya tanaman, peternakan skala kecil, serta perikanan dalam satu sistem yang terintegrasi. Langkah tersebut diharapkan bisa memperkuat ketahanan pangan dari level rumah tangga hingga komunitas RT dan RW.
“Urban farming tidak hanya bertani, tetapi juga mencakup budidaya ikan dan ternak. Semua dilakukan di pekarangan atau ruang terbatas, untuk memperkuat ketahanan pangan warga,” ujar Slamet.
Antusiasme warga terus meningkat. Data Dispangtan mencatat, pada tahun 2024 terdapat 112 kelompok urban farming aktif. Memasuki 2025, jumlahnya naik menjadi 115 kelompok. Kenaikan ini menunjukkan bahwa konsep bertani di kota bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan gerakan nyata yang dijalankan masyarakat.
Untuk memastikan keberhasilan program, Dispangtan membentuk tim pendamping lintas bidang. Tiap kelompok urban farming mendapatkan bimbingan teknis mulai dari sektor tanaman pangan, perikanan, hingga peternakan. Komunikasi juga dimaksimalkan melalui grup WhatsApp, sehingga monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara real time.
“Kami dampingi setiap kelompok melalui pembinaan lintas sektor. Grup WhatsApp menjadi media utama untuk koordinasi, evaluasi, dan berbagi informasi,” kata Slamet.
Tak hanya berhenti di tahap budidaya, Dispangtan juga menjembatani pemasaran hasil urban farming. Produk-produk segar dari pekarangan warga kini tengah dikenalkan ke jaringan pelaku usaha, termasuk Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) serta Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Dengan langkah ini, hasil urban farming diharapkan bisa masuk ke fresh market, toko sayur modern, dan bahkan pasar khusus.
Baca Juga: Wali Kota Malang Tegas: Revitalisasi Stasiun Harus Jaga Cagar Budaya
“Kami tidak ingin urban farming hanya berhenti di produksi. Kami dorong agar hasilnya bisa dipasarkan, bahkan sampai ke hotel dan restoran,” terang Slamet.
Dalam setiap sesi pelatihan, warga juga diperkenalkan pada teknologi hidroponik—metode bercocok tanam tanpa tanah yang menggunakan media air. Selain hidroponik, bahan alternatif seperti mulsa, pakis, dan sekam turut diperkenalkan. Cara ini dinilai sangat cocok untuk wilayah perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan.
“Hidroponik, pakis, dan sekam kami ajarkan agar warga bisa menanam meski tidak punya lahan luas. Ini solusi praktis dan modern,” tegas Slamet.
Hasilnya, berbagai jenis komoditas kini dibudidayakan di skala pekarangan. Di Kelurahan Kebonsari, warga menanam sayuran hijau hidroponik seperti selada dan sawi. Sementara di Arjosari, kelompok urban farming memelihara ikan lele dan nila dengan sistem bioflok. Di Tlogomas dan Lesanpuro, warga memadukan kebun sayur dengan peternakan ayam petelur skala kecil untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga.
Keberadaan kelompok-kelompok ini memberikan dampak nyata. Produk yang dihasilkan minimal mampu mencukupi kebutuhan pangan lingkungan sekitar. Bahkan beberapa kelompok telah berhasil menjual hasil panen mereka ke pasar modern.
“Tujuan kami sederhana. Produk dari masing-masing kelompok minimal bisa memenuhi kebutuhan pangan warga di lingkungannya sendiri. Lebih baik lagi jika mereka bisa menjual ke pasar dan meningkatkan pendapatan,” ujar Slamet.
Selain itu, konsep urban farming juga sejalan dengan misi Pemkot Malang dalam membangun kemandirian pangan. Dengan memanfaatkan pekarangan rumah, warga tidak hanya mendapatkan pasokan sayur dan ikan yang sehat, tetapi juga mampu menghemat pengeluaran sehari-hari.
Dispangtan memastikan bahwa program ini bukan proyek sesaat. Mereka terus melakukan evaluasi, meningkatkan metode budidaya, dan membuka ruang kolaborasi dengan berbagai pihak. Upaya tersebut diharapkan mampu mengubah pola pikir warga kota untuk memandang lahan sempit bukan sebagai keterbatasan, melainkan sebagai peluang.
“Urban farming harus menjadi gerakan mandiri masyarakat. Kami hanya memfasilitasi. Ketika warga sudah merasakan manfaatnya, gerakan ini akan tumbuh dengan sendirinya,” tutup Slamet.
Dengan inovasi seperti hidroponik dan dukungan pemasaran yang terus diperluas, urban farming di Kota Malang diyakini akan menjadi contoh keberhasilan pertanian kota yang mampu meningkatkan ketahanan pangan sekaligus mendongkrak perekonomian lokal. Sebuah langkah nyata menuju kota yang mandiri, hijau, dan berkelanjutan.















