Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, publik sempat dibuat bingung dengan pernyataan yang beredar mengenai royalti lagu kebangsaan Indonesia Raya. Isu ini bermula dari penjelasan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyebutkan bahwa lagu tersebut termasuk objek hak cipta dan berpotensi dikenakan royalti dalam konteks tertentu. Namun, penegasan terbaru dari para ahli dan klarifikasi resmi LMKN memastikan bahwa Indonesia Raya dapat digunakan secara bebas tanpa pungutan royalti.
Dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 7 Agustus 2025, saksi ahli Prof. Ahmad Ramli menegaskan bahwa lagu Indonesia Raya masuk dalam kategori fair use atau penggunaan wajar. Menurutnya, publikasi dan penggandaan lagu kebangsaan tidak termasuk pelanggaran hak cipta.
“Lagu kebangsaan itu memang harus digunakan dan disosialisasikan terus-menerus. Jika dikenakan royalti, masyarakat justru akan enggan menggunakannya, padahal mengenal dan menyanyikan lagu kebangsaan adalah kewajiban setiap warga negara,” ujar Ahmad Ramli.
Ahmad Ramli menambahkan, meskipun Indonesia Raya belum secara resmi dinyatakan sebagai domain publik berdasarkan perhitungan usia hak cipta, penggunaan untuk kepentingan umum tetap tergolong wajar dan tidak memerlukan pembayaran royalti. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 43 huruf A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, penggunaan lagu kebangsaan untuk publikasi atau penggandaan tidak dianggap melanggar hukum.
Sebelumnya, pada Rabu, 6 Agustus 2025, Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, Yessi Kurniawan, sempat menyampaikan bahwa penggunaan lagu Indonesia Raya dalam konteks komersial—seperti pertunjukan berbayar atau konser—akan dikenakan royalti. Namun, ia juga menegaskan bahwa penggunaan di instansi pemerintah atau acara nasional tidak dipungut biaya.
Tak lama setelah pernyataan tersebut, LMKN memberikan klarifikasi. Yessi mengonfirmasi bahwa lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman kini telah masuk domain publik. Artinya, lagu ini dapat digunakan oleh siapa saja tanpa memerlukan izin tertulis dan tanpa membayar royalti.
“Terkait lagu Indonesia Raya, ternyata statusnya sudah domain publik. Jadi tidak ada lagi hak ekonomi yang bisa ditarik, baik untuk pencipta maupun ahli waris,” jelas Yessi.
Meski bebas digunakan, LMKN menekankan pentingnya menjaga hak moral pencipta. Hak moral ini mengharuskan setiap orang yang menggunakan lagu Indonesia Raya tetap mencantumkan nama penciptanya, yakni W.R. Supratman.
Baca Juga: Trump-Putin Siap Bertemu Bahas Per4ng Ukraina, Zelensky Tak Diundang?
“Hak ekonomi memang tidak ada, tapi hak moral harus dihormati. Cukup dengan menulis ‘ciptaan W.R. Supratman’ saat menampilkan atau merekam lagu tersebut,” tambah Yessi.
Dengan status domain publik, siapapun kini bebas memproduksi rekaman, mengaransemen, atau menampilkan Indonesia Raya dalam berbagai format, selama tidak mengubah esensi dan makna lagu tersebut.
Di Indonesia, perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 58 ayat (1) menjelaskan bahwa hak cipta lagu dan musik berlaku selama pencipta masih hidup hingga 70 tahun setelah meninggal dunia, dihitung mulai 1 Januari tahun berikutnya. Setelah masa berlaku habis, karya tersebut otomatis menjadi domain publik.
Selain berdasarkan waktu, karya juga dapat masuk domain publik jika pencipta secara sukarela melepaskan hak ciptanya, atau jika karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya yang telah ada sebelum sistem hak cipta diberlakukan—misalnya lagu kebangsaan, cerita rakyat, atau prasasti kuno.
Dalam kasus Indonesia Raya, masa perlindungan hak ekonomi telah berakhir mengingat W.R. Supratman wafat pada 17 Agustus 1938. Dengan demikian, lebih dari 70 tahun telah berlalu, sehingga lagu ini sah menjadi milik publik.
Kepastian status domain publik Indonesia Raya menjadi kabar baik, terutama di tengah peringatan kemerdekaan yang identik dengan nyanyian lagu tersebut di berbagai acara. Masyarakat kini tidak perlu khawatir akan dikenai biaya royalti saat memutarnya di sekolah, kantor, atau acara umum.
Bahkan, pemerintah melalui berbagai regulasi justru mendorong penggunaan lagu kebangsaan secara rutin. Beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) diketahui memutarkan Indonesia Raya setiap pukul 10 pagi sebagai bentuk pembinaan rasa nasionalisme.
Penggunaan Komersial dan Etika
Meskipun bebas royalti, pengguna tetap diimbau untuk menjaga kesakralan lagu Indonesia Raya. Mengubah lirik, menghilangkan bagian tertentu, atau menampilkan dalam konteks yang merendahkan martabat bangsa tetap dilarang dan bisa diproses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dengan penegasan ini, diharapkan masyarakat semakin memahami pentingnya menghormati lagu kebangsaan sekaligus memanfaatkannya untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air.
Baca Juga: Sound Horeg Sering Putar Lagunya, Tipe-X: Apa Perlu Kita Mintain Royalti?















