infomalang.com/ – Pembebasan bersyarat yang diberikan kepada mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, kembali memicu sorotan publik. Novanto yang divonis 15 tahun penjara dalam kasus mega korupsi e-KTP kini sudah menghirup udara bebas setelah mendapat keringanan hukuman dan remisi. Keputusan ini memunculkan kritik keras, salah satunya dari mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap.
Koruptor dinilai yudi perlu adanya regulasi baru yang membatasi para narapidana kasus korupsi untuk tidak dengan mudah mendapatkan pembebasan bersyarat. Menurutnya, kebijakan saat ini masih membuka celah besar bagi koruptor untuk lolos dari jerat hukuman maksimal. Hal ini berpotensi mengurangi efek jera yang seharusnya menjadi tujuan utama pemidanaan kasus korupsi.
Dampak Pencabutan PP 99 Tahun 2012
Yudi menyoroti bahwa kondisi ini terjadi setelah Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang sebelumnya memperketat pemberian remisi dan bebas bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa, termasuk koruptor. Dalam aturan lama, hanya narapidana korupsi yang berstatus justice collaborator (JC) atau pelaku yang membantu penegak hukum membongkar kasus besar yang bisa memperoleh keringanan hukuman.
Dengan dicabutnya PP tersebut, kini semua narapidana korupsi berpeluang mendapat remisi dan bebas bersyarat, meskipun bukan JC. Yudi menegaskan, hal ini sangat merugikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Akibat dicabutnya PP 99, napi korupsi yang bukan JC pun bisa mendapat remisi. Padahal dulu syaratnya ketat, harus ada surat resmi dari penegak hukum bahwa dia benar-benar bekerja sama,” ujar Yudi.
Bebasnya Setya Novanto
Kasus Setya Novanto menjadi contoh nyata dampak dari pelonggaran aturan. Novanto yang sebelumnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, mendapat pemotongan masa hukuman menjadi 12,5 tahun lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Setelah menjalani dua pertiga masa tahanannya, ia pun dinyatakan berhak atas pembebasan bersyarat.
Menurut Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Novanto juga telah melunasi kewajiban denda dan uang pengganti yang ditetapkan pengadilan. Hal ini kemudian dijadikan dasar persetujuan bebas bersyarat oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
Meski prosedur administratif terpenuhi, banyak pihak menilai keputusan ini mencederai rasa keadilan publik. Pasalnya, korupsi e-KTP merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia.
Baca Juga:Warna-Warni Indonesia di Penang, Festival Budaya Nusantara 2025 Pukau Malaysia
Harapan Adanya Regulasi Baru
Yudi mendorong pemerintah dan DPR segera menyusun regulasi baru yang secara khusus mengatur pembatasan bebas bersyarat bagi narapidana korupsi. Ia menekankan bahwa kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya sangat luas terhadap masyarakat dan negara.
“Seharusnya ada kesadaran dari hakim tipikor maupun MA untuk tidak lagi memberikan vonis ringan bagi koruptor. Ketika ada pengurangan hukuman, tentu ini akan menjadi beban moral tersendiri karena korupsi bukanlah kejahatan biasa,” tegas Yudi.
Selain itu, ia berharap regulasi baru bisa menutup celah hukum agar narapidana korupsi tidak dengan mudah mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat, kecuali benar-benar membantu penegakan hukum.
Kritik terhadap Vonis Ringan Koruptor
Tidak hanya soal pembebasan bersyarat, Yudi juga mengkritik tren vonis ringan bagi para pelaku korupsi. Menurutnya, beberapa putusan pengadilan belakangan ini justru menurunkan efek jera bagi koruptor.
Ia mencontohkan bagaimana banyak terpidana korupsi yang dihukum singkat, mendapat remisi besar, lalu bisa segera kembali ke masyarakat. Padahal, praktik tersebut hanya memperburuk persepsi publik terhadap komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Vonis ringan dan bebas bersyarat membuat publik ragu terhadap keseriusan negara dalam menindak pelaku korupsi. Padahal korupsi sudah jelas-jelas merampas hak rakyat,” jelasnya.
Tanggung Jawab Moral Hakim
Menurut Yudi, para hakim memiliki tanggung jawab moral dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus korupsi. Ia menekankan pentingnya perspektif bahwa korupsi adalah kejahatan yang merugikan generasi bangsa. Oleh karena itu, vonis yang dijatuhkan seharusnya memberikan pesan tegas bahwa korupsi tidak akan ditoleransi.
“Jika hakim terus memberikan vonis ringan, maka masyarakat akan kehilangan harapan terhadap keadilan. Padahal, keadilan adalah fondasi utama dalam upaya membangun negara yang bersih,” ujarnya.
Kasus pembebasan bersyarat Setya Novanto membuka kembali diskusi publik mengenai lemahnya aturan pemasyarakatan bagi koruptor. Kritik dari Yudi Purnomo Harahap menjadi alarm penting agar pemerintah, DPR, dan lembaga peradilan mengevaluasi sistem hukum yang berlaku.
Dorongan untuk menghadirkan regulasi baru yang lebih ketat bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan rakyat. Dengan regulasi yang jelas dan tegas, diharapkan ke depan tidak ada lagi koruptor yang dengan mudah keluar dari penjara tanpa menjalani hukuman secara penuh.
Baca Juga:Jangan Tergoda Rokok Murah! Satpol-PP Kota Batu Ingatkan Sanksi Pidana Rokok Ilegal















