Breaking

Masyarakat Sulit, Legislator Justru Nikmati Gaji dan Tunjangan Fantastis Hingga Rp100 juta per bulan

infomalang.com/ – Di tengah situasi ekonomi nasional yang kian menekan masyarakat, informasi mengenai besarnya gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memicu sorotan publik. Fakta bahwa para legislator dapat menerima pendapatan resmi lebih dari Rp100 juta per bulan, termasuk tunjangan rumah sebesar Rp50 juta, menimbulkan kritik keras dari berbagai kalangan.

Kritik dari ICW Kebijakan Tidak Etis

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyebut kebijakan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan ini tidak etis. Menurutnya, di saat masyarakat harus berhemat, pengeluaran negara untuk DPR justru membengkak hingga mencapai triliunan rupiah selama satu periode jabatan.

Potensi Pemborosan Anggaran Rp1,74 Triliun

Lebih jauh, ICW menghitung potensi pemborosan mencapai Rp1,74 triliun hanya untuk tunjangan rumah. Angka ini diperoleh dari asumsi Rp50 juta dikalikan 60 bulan dengan jumlah 580 anggota DPR. Ironisnya, pemerintah sendiri kerap menyerukan efisiensi anggaran yang justru berdampak pada pemangkasan di sektor publik yang menyentuh langsung kebutuhan warga.

Kritik dari Formappi Legislator “Obesitas” Anggaran

Kritik juga datang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai tunjangan ini hanyalah bentuk subsidi besar-besaran kepada para legislator. Padahal, jika dilihat dari kinerja, DPR justru kerap menuai sorotan negatif. Mulai dari rendahnya produktivitas legislasi, minimnya partisipasi publik, hingga keterlibatan dalam isu-isu kontroversial.

Lucius menambahkan, semakin banyak tunjangan yang diterima anggota DPR, semakin terlihat kecenderungan mereka hanya fokus pada keuntungan pribadi. Bahkan, ia menyebut para legislator menjadi “obesitas” anggaran karena berbagai jenis tunjangan yang terus bertambah.

Baca Juga:Pengelolaan Sampah Berbasis Aglomerasi Mulai Diterapkan di Kabupaten Malang, Solusi Inovatif Atasi Persoalan Lingkungan

Rumah Dinas Tak Layak Jadi Alasan?

Sementara itu, alasan DPR bahwa rumah dinas tidak layak huni juga menuai pertanyaan. Kompleks perumahan dinas DPR di Kalibata dan Ulujami memang disebut membutuhkan renovasi, tetapi fakta adanya proyek pemeliharaan dengan anggaran ratusan miliar rupiah membuat publik curiga ada inkonsistensi dalam pengelolaan aset negara.

Rakyat Terhimpit Kenaikan Harga

Di sisi lain, masyarakat masih harus berjuang menghadapi kenaikan harga beras yang kini tembus Rp16.000 per kilogram untuk kualitas premium. Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) juga dinaikkan, diikuti beban pajak bumi dan bangunan (PBB) yang melonjak di sejumlah daerah. Belum lagi data Kementerian Ketenagakerjaan yang mencatat lebih dari 42 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja pada semester pertama 2025.

Kepercayaan Publik Terus Menurun

Kesenjangan antara beban rakyat dengan kenyamanan para wakilnya di Senayan semakin mencolok. Apalagi survei Indikator Politik Indonesia pada awal 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, menempatkan mereka di peringkat ke-10 dari 11 lembaga negara. Angka ini membuktikan betapa rendahnya legitimasi DPR di mata masyarakat.

Legislasi Masih Jadi Sorotan

Kinerja legislasi pun masih jauh dari harapan. Meski Ketua DPR Puan Maharani mengklaim ada ribuan aspirasi masyarakat yang ditindaklanjuti, faktanya sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas justru menimbulkan gelombang penolakan. Misalnya, RUU Pilkada yang memicu unjuk rasa besar hingga akhirnya dibatalkan, serta UU TNI yang disahkan meski menuai kritik lantaran dibahas secara tertutup.

Desakan untuk Transparansi dan Etika Publik

Situasi ini memperkuat pandangan bahwa DPR lebih sibuk dengan urusan tunjangan dan fasilitas ketimbang mengemban amanah rakyat. Jika kebijakan tunjangan rumah Rp50 juta ini tidak segera dicabut, bukan hanya citra DPR yang merosot, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem politik secara keseluruhan.

Ke depan, para pengamat mendesak agar DPR lebih mengutamakan etika publik dalam mengambil keputusan terkait anggaran. Transparansi, akuntabilitas, serta pengelolaan yang berpihak pada rakyat adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Tanpa itu, jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili akan semakin lebar.

Selain itu, publik berharap pemerintah dan DPR segera meninjau ulang skema tunjangan agar sesuai dengan kondisi ekonomi nasional. Efisiensi anggaran bukan hanya slogan, melainkan harus diwujudkan melalui kebijakan konkret yang berpihak pada rakyat. Jika tidak, jurang ketidakpercayaan akan semakin dalam dan memperburuk legitimasi politik.

Baca Juga:BI Diperkirakan Tahan Suku Bunga 5,25% hingga Agustus, Pelonggaran Menyusul di Kuartal IV