Infomalang – Puluhan keluhan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang disampaikan warga Kota Malang memantik perhatian serius pemerintah daerah dan legislatif. Akses pelayanan yang dinilai berbelit, proses administrasi yang kaku, serta dugaan pelayanan medis yang kurang tuntas menjadi sorotan utama. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pun mendesak agar regulasi BPJS Kesehatan di tingkat nasional ditinjau ulang agar lebih fleksibel dan berpihak pada kebutuhan pasien.
Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, mengungkapkan pihaknya telah melakukan koordinasi langsung dengan pimpinan BPJS Kesehatan pusat di Jakarta. Menurutnya, pemerintah kota tidak tinggal diam setelah menerima banyak aduan dari masyarakat terkait sulitnya memperoleh layanan kesehatan. “Kami sudah berkomunikasi dengan pimpinan BPJS Kesehatan di pusat. Dalam waktu dekat akan digelar pertemuan yang melibatkan seluruh rumah sakit dan tenaga kesehatan agar persoalan pelayanan tidak lagi saling dilempar,” ujarnya di Balai Kota, Senin (22/9/2025).
Langkah cepat Pemkot Malang ini juga ditujukan untuk mengevaluasi program Universal Health Coverage (UHC) yang menelan anggaran sekitar Rp150 miliar. Program yang seharusnya mempermudah akses kesehatan gratis itu dinilai belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Wahyu menegaskan bahwa forum evaluasi akan digelar minggu ini agar semua pemangku kepentingan, mulai dari rumah sakit hingga klinik swasta, memahami pentingnya memberikan pelayanan menyeluruh kepada pasien peserta BPJS.
Kasus Pasien Pulang Sebelum Sembuh
Sorotan tajam juga datang dari DPRD Kota Malang. Anggota Komisi C, Arief Wahyudi, menilai sejumlah kasus di lapangan menunjukkan bahwa regulasi BPJS lebih menekankan aspek administratif daripada kebutuhan medis. Ia mencontohkan laporan keluarga pasien operasi otak yang dipulangkan rumah sakit meski kondisi belum stabil dan akhirnya meninggal dunia. “Kami memahami bahwa kematian adalah takdir, tetapi pelayanan medis seharusnya paripurna.
Jika masyarakat sudah membayar premi, konsekuensinya perawatan harus sampai pasien benar-benar pulih,” tegas politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Menurut Arief, kasus serupa bukan hanya satu atau dua. Beberapa warga mengaku dipersulit saat harus mengurus rujukan ulang ketika dalam kondisi gawat. Aturan yang kaku membuat pasien yang seharusnya mendapat perawatan intensif harus pulang terlebih dahulu. “Kalau pasien gawat darurat, mestinya tidak perlu dipulangkan atau disuruh mengurus rujukan ulang. Regulasi ini harus disesuaikan dengan kebutuhan medis, bukan sekadar administrasi,” ujarnya.
Dorongan Regulasi Lebih Luwes
DPRD Kota Malang menekankan pentingnya kebijakan yang dapat mengakomodasi situasi darurat. Arief menyatakan pihaknya siap menyuarakan aspirasi ini hingga ke pemerintah pusat agar aturan BPJS lebih luwes. “Kerja sama dengan BPJS Kesehatan tetap harus dijalankan karena merupakan amanat undang-undang. Namun, kami mendorong agar regulasi di tingkat pusat diperlonggar supaya lebih sesuai kebutuhan masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, pimpinan BPJS sebaiknya memiliki latar belakang medis agar lebih memahami kondisi pasien dan realitas di lapangan. “Kepemimpinan dengan pengalaman medis akan memudahkan pengambilan keputusan yang mengutamakan keselamatan pasien,” imbuhnya.
Baca Juga: Retribusi TPI Sendangbiru Turun Rp6,1 M
Perbaikan di Puskesmas dan Rumah Sakit
Sebagai tindak lanjut, Pemkot Malang bersama Dinas Kesehatan setempat telah meminta seluruh Puskesmas untuk menambah jam layanan rujukan, termasuk pada akhir pekan. Langkah ini diambil untuk memastikan peserta BPJS tidak kesulitan mendapatkan surat rujukan ketika membutuhkan perawatan lanjutan. Beberapa rumah sakit mitra BPJS juga mulai memperkuat komunikasi dengan pasien agar proses administrasi lebih cepat.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, dr. Rahmawati, menuturkan bahwa peningkatan kapasitas pelayanan menjadi prioritas. “Kami menyiapkan sistem antrean daring dan mempersingkat proses verifikasi agar pasien tidak perlu menunggu lama. Edukasi bagi petugas medis juga dilakukan agar prosedur tetap sesuai standar, tetapi tidak menghambat penanganan gawat darurat,” jelasnya.
Pentingnya Koordinasi Pusat dan Daerah
Pengamat kebijakan kesehatan Universitas Brawijaya, dr. Dwi Handayani, menilai koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat menjadi kunci. “Regulasi BPJS memang bersifat nasional, sehingga usulan perubahan harus melalui Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Namun, masukan dari daerah seperti Malang sangat penting untuk menyesuaikan aturan dengan kebutuhan nyata di lapangan,” paparnya.
Dwi menambahkan bahwa perbaikan sistem tidak hanya bergantung pada aturan, tetapi juga sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan. “Perubahan regulasi harus dibarengi peningkatan kapasitas rumah sakit, ketersediaan dokter spesialis, dan transparansi biaya agar kepercayaan publik tetap terjaga,” katanya.
Harapan Masyarakat
Warga peserta BPJS berharap upaya Pemkot Malang dan DPRD dapat menghasilkan kebijakan yang memudahkan akses layanan kesehatan. Siti Mariam, warga Lowokwaru, mengungkapkan dirinya sempat menunggu lebih dari enam jam hanya untuk mendapat rujukan ke rumah sakit rujukan. “Kalau ada perbaikan aturan dan jam layanan diperpanjang, tentu sangat membantu,” ujarnya.
Senada, Ahmad Fajar, warga Kedungkandang, menilai pentingnya kejelasan informasi. “Kadang pasien tidak tahu prosedur. Petugas harus lebih aktif memberi penjelasan supaya tidak ada kesalahpahaman,” katanya.
Baca Juga: Pemkot Malang Bertahap Lengkapi Pasar Tradisional dengan Anjungan Air Minum Terjangkau
Puluhan aduan masyarakat terkait BPJS Kesehatan di Kota Malang menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan pelayanan. Langkah cepat Pemkot Malang, dukungan DPRD, serta desakan perubahan aturan di tingkat pusat menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah daerah tidak tinggal diam. Dengan koordinasi yang solid, program jaminan kesehatan diharapkan benar-benar memberi perlindungan penuh sesuai semangat Universal Health Coverage senilai Rp150 miliar yang telah digulirkan.















