Suaramedia.id – Kabar rupiah yang nyaris menyentuh level krisis 1998 membuat publik khawatir. Namun, Bank Indonesia (BI) memberikan pernyataan tegas yang mengejutkan. Asisten Gubernur BI sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial, Solikin M. Juhro, dalam taklimat media di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (26/3/2025), memastikan fundamental ekonomi Indonesia masih sangat kuat.
"Data makro ekonomi kita, mulai dari PDB, inflasi, neraca berjalan, semuanya dalam kondisi baik," tegas Solikin. Ia menambahkan bahwa utang luar negeri terkelola dengan baik dan stabilitas sistem keuangan juga terjaga, ditandai dengan permodalan dan risiko kredit yang semakin membaik.

Solikin memaparkan sejumlah data pendukung. Pertumbuhan ekonomi (PDB) pada 2023 mencapai 5,04% dan 5,02% pada 2024. Inflasi terkendali di angka 2,81% (2023) dan 1,57% (2024). Neraca berjalan juga tercatat minus 0,41% (2023) dan minus 0,32% (2024). Rasio utang luar negeri terhadap PDB berada di angka 29,79% (2023) dan 30,43% (2024). Sementara itu, rasio kecukupan modal perbankan (CAR) mencapai 26,69% (2023) dan meningkat menjadi 27,76% (2025), dengan rasio kredit bermasalah (NPL) hanya 2,08%.
Lebih lanjut, Solikin membandingkan data fundamental Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia seperti India, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia. Hasilnya, fundamental ekonomi Indonesia masih lebih baik. "Misalnya, pertumbuhan ekonomi Vietnam lebih tinggi, tapi inflasinya juga lebih tinggi," jelasnya.
Dengan data-data tersebut, BI meyakini risiko krisis ekonomi di Indonesia masih jauh. Kondisi ini berbeda jauh dengan krisis 1997-1998 di mana fundamental ekonomi saat itu jauh lebih rapuh. "Singkatnya, apakah krisis masih jauh? Saya berani afirmasi, masih jauh. Tapi bukan berarti kita bisa berpuas diri, kita harus terus memonitor," tegas Solikin.
Perlu diketahui, rupiah sempat melemah tajam dan hampir menyentuh level terendah seperti pada krisis 1998. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah sempat menyentuh angka Rp 16.640/US$ pada pukul 09.46 WIB, mendekati level tertinggi intraday 23 Maret 2020 (Rp 16.620/US$) dan mendekati level intraday 17 Juni 1998 (Rp 16.800/US$). Namun, BI memastikan kondisi ini disebabkan faktor eksternal dan bukan masalah fundamental dalam negeri.