Fenomena sound horeg yang selama ini menjadi kontroversi di masyarakat Jawa Timur akhirnya ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, resmi membentuk tim khusus guna merumuskan regulasi penggunaan sound horeg di wilayah Jatim. Langkah ini diambil menyusul meningkatnya pro dan kontra di berbagai daerah, terutama menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus.
Dalam rapat koordinasi yang digelar di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis malam (24/7/2025), Gubernur Khofifah bersama Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak memimpin langsung diskusi dengan jajaran Polda Jatim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, serta berbagai organisasi perangkat daerah (OPD). Rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk membentuk tim lintas lembaga, yang terdiri dari unsur kepolisian, ulama, akademisi, tenaga medis, hingga pakar hukum.
Menurut Khofifah, tujuan utama dari pembentukan tim ini adalah untuk menyusun regulasi yang adil dan seimbang dalam mengatur penggunaan sound horeg. Ia menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum, melainkan juga aspek agama, budaya, kesehatan, dan lingkungan. Hal ini penting agar regulasi yang dihasilkan mampu menjawab kekhawatiran berbagai pihak dan tetap memberikan ruang bagi kreativitas masyarakat dalam menyelenggarakan hiburan.
“Kami tidak ingin membuat aturan yang hanya mengekang. Tapi aturan ini harus menjadi jalan tengah yang adil. Kita melihat ada kekhawatiran dari sisi agama, ada dampak dari sisi kesehatan dan lingkungan. Maka semuanya harus ditinjau secara komprehensif,” ujar Khofifah.
Gubernur menegaskan bahwa sound horeg berbeda dengan sound system pada umumnya. Dalam praktiknya, sound horeg memperdengarkan suara dengan intensitas sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 85 bahkan 100 desibel. Durasi penggunaannya pun cenderung lama, seringkali lebih dari satu jam. Kondisi ini berpotensi mengganggu kesehatan pendengaran dan menimbulkan gangguan ketertiban umum.
“Kalau kita bicara soal desibel, maka kita harus bicara alat ukur. Jadi regulasi nanti harus mencantumkan ambang batas desibel yang diperbolehkan, serta waktu penggunaannya. Ini penting agar tidak terjadi pelanggaran yang bisa merugikan masyarakat,” lanjutnya.
Khofifah menyebutkan bahwa fenomena sound horeg paling banyak ditemukan di daerah seperti Tulungagung, Pasuruan, Jember, Banyuwangi, dan Malang. Oleh karena itu, regulasi yang dirancang diharapkan bisa segera diimplementasikan secara serentak di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Rencananya, payung hukum ini akan berbentuk Peraturan Gubernur (Pergub) atau Surat Edaran Bersama yang harus selesai sebelum tanggal 1 Agustus 2025.
Baca Juga: Rekening Bank yang Nganggur Selama 3 Bulan Akan Dibekukan oleh PPATK
Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak menambahkan bahwa tim yang dibentuk akan bekerja secara intensif dan kolaboratif bersama Polda Jatim untuk memastikan substansi dari regulasi yang disusun benar-benar menyasar persoalan inti. Ia juga menegaskan bahwa aturan yang dibuat tidak bermaksud melarang hiburan, namun memberikan batasan yang jelas agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat luas.
“Intinya masyarakat butuh kepastian. Kita semua tahu bahwa hiburan adalah bagian dari budaya. Tapi kalau sudah mengganggu, tentu harus ada aturannya. Maka dalam waktu dekat, tim ini akan menyusun panduan yang detail,” ujar Emil.
Dari pihak daerah, Bupati Malang, HM Sanusi, menyatakan kesiapannya untuk mendukung dan menjalankan seluruh kebijakan yang akan ditetapkan oleh Pemprov Jatim terkait sound horeg. Ia menyebut bahwa Kabupaten Malang sebagai salah satu wilayah yang cukup dikenal dalam perkembangan fenomena ini, perlu segera menyesuaikan diri dengan regulasi yang akan ditetapkan.
“Kita akan ikuti aturan dari provinsi. Apapun keputusan Pemprov Jatim, akan kami jalankan sepenuhnya,” kata Sanusi singkat, Sabtu (26/7/2025).
Sanusi menyadari bahwa regulasi ini penting untuk menjawab keresahan masyarakat, terutama di wilayah perdesaan yang kerap menjadi lokasi pertunjukan sound horeg. Ia juga berharap bahwa aturan yang akan dibuat dapat menjadi solusi komprehensif yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, tanpa harus menimbulkan konflik sosial baru.
Polemik sound horeg memang telah menjadi perhatian nasional sejak MUI Jatim mengeluarkan fatwa haram terhadap kegiatan tersebut. Fatwa ini menimbulkan gelombang diskusi dan perdebatan di kalangan masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menolak. Banyak pihak yang menilai bahwa sound horeg merusak ketenangan lingkungan dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
Di sisi lain, para pelaku hiburan menganggap bahwa sound horeg adalah bentuk ekspresi seni dan hiburan rakyat yang tidak seharusnya dibatasi secara berlebihan. Oleh karena itu, keberadaan regulasi yang adil menjadi sangat penting sebagai bentuk solusi dari benturan kepentingan ini.
Dengan regulasi yang terukur, Pemprov Jatim berharap bahwa kegiatan hiburan seperti sound horeg dapat terus berlangsung dengan tetap memperhatikan norma dan ketentuan hukum yang berlaku. Kolaborasi antar lembaga dalam tim khusus ini diharapkan mampu menghadirkan solusi konkret yang bisa menjadi percontohan bagi daerah lain di Indonesia.
Kini, publik menanti hasil kerja tim tersebut yang ditargetkan rampung dalam hitungan hari. Apakah regulasi ini akan menjadi solusi atas polemik panjang, atau justru membuka perdebatan baru, akan sangat tergantung pada substansi dan implementasi aturan yang akan segera dirilis.
Baca Juga: Pemkot Batu Luncurkan Inisiatif Baru untuk Pendidikan dan Perlindungan Anak















