Dalam lima tahun terakhir, sebanyak 19.443 anak di Kabupaten Malang terpaksa putus sekolah. Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Malang mencatat, jumlah ini terdiri dari berbagai kategori, mulai dari anak yang drop out (DO), lulus tetapi tidak melanjutkan (LTM), hingga yang belum pernah bersekolah (BPB).
Faktor Ekonomi Menjadi Penyebab Utama
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Suwadji, mengungkapkan bahwa masalah ekonomi menjadi faktor utama anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan. “Karena keadaan ekonomi, orang tua menyuruh anaknya bekerja sehingga anak tidak bisa bersekolah,” ujarnya. Selain ekonomi, pernikahan dini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak anak di Kabupaten Malang tidak melanjutkan pendidikan.
Selain itu, jarak tempat tinggal yang jauh dari sekolah turut mempengaruhi keputusan anak untuk tidak bersekolah. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya motivasi belajar, baik dari anak-anak maupun orang tua mereka.
Baca Juga : Mengenal Universitas Brawijaya: Kampus Ternama di Malang
Satgas Saber ATS Dibentuk untuk Mengatasi Masalah
Untuk menanggulangi tingginya angka putus sekolah, Disdik Kabupaten Malang telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Anak Tidak Sekolah (Saber ATS). “Tim Satgas Saber ATS ini sudah kami luncurkan dan SK-nya sudah dikeluarkan,” jelas Suwadji. Tim ini bertugas memberikan pembinaan, arahan kebijakan, serta memantau dan mengevaluasi penanganan anak putus sekolah.
Melalui kebijakan tersebut, Satgas Saber ATS akan mengawasi pelaksanaan program setiap tahun dan dibantu oleh kelompok kerja (Pokja) Saber ATS. Mereka memiliki tanggung jawab untuk merancang strategi penanganan yang komprehensif guna menurunkan angka anak tidak sekolah di Kabupaten Malang.
Program Orang Tua Asuh untuk Membantu Anak Kembali Bersekolah
Selain Satgas, Pemkab Malang juga memiliki program orang tua asuh yang memberikan motivasi kepada anak-anak untuk melanjutkan pendidikan. “Bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, orang tua asuh akan membantu, termasuk bagi anak-anak yang mengalami trauma karena perundungan,” tambah Suwadji.
Anak-anak yang masih dalam usia sekolah formal diarahkan untuk kembali masuk ke sekolah formal. Sementara itu, bagi anak yang sudah melewati usia sekolah formal, mereka akan didorong untuk mengikuti pendidikan kesetaraan seperti paket A, B, atau C. Dengan demikian, diharapkan semua anak tetap memiliki ijazah dan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Targetnya, pada tahun 2025 tidak ada lagi kasus anak yang putus sekolah.
Baca Juga : Warisan Sejarah Budaya Bantengan di Malang