Praktik politik uang dinilai masih berpotensi terjadi dalam Pilwali Malang 2024, terutama di kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan atau ekonomi rendah. Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, menyatakan bahwa hasil kajian dari Tim Peneliti Perilaku Pemilih di Era Digital UB menunjukkan adanya kecenderungan tersebut. “Politik uang masih mempengaruhi sebagian pemilih, terutama yang berada di lapisan masyarakat ekonomi lemah,” ungkap Andhyka kepada wartawan, Jumat (13/9/2024).
Pengaruh Patronase dan Jaringan Sosial dalam Pilwali
Menurut Andhyka, praktik politik uang seringkali bersanding dengan patronase, yaitu pengaruh dari tokoh masyarakat atau organisasi dalam menentukan pilihan pemilih. Kajian UB juga menemukan adanya tujuh karakteristik pemilih di Kota Malang, mulai dari pengaruh patronase hingga identitas sosial dan keagamaan.
Baca juga:
Pertumbuhan Kredit di OJK Malang Capai Rp98,48 Triliun pada Juli 2024
“Selain politik uang, faktor seperti jaringan kekerabatan, tokoh masyarakat, dan organisasi juga mempengaruhi pilihan pemilih,” ujar Andhyka. Isu-isu lokal, media sosial, dan segmen pemilih muda juga menjadi faktor penting dalam Pilkada 2024.
Praktik Lazim dalam Pemilu, Ongkos Politik Jadi Faktor Utama
Andhyka menambahkan, meskipun politik uang dilarang, praktik ini masih dianggap lazim di kalangan masyarakat. Bahkan, sebagian calon kepala daerah harus mengeluarkan “ongkos politik” atau menyerahkan mahar kepada partai politik untuk mendapatkan dukungan.
“Calon sering menganggap ini sebagai ongkos politik, bukan politik uang. Mahar untuk partai bisa mencapai Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per kursi,” jelasnya. Pada Pemilu 2014, Andhyka pernah terlibat sebagai tim pemantau dan menyaksikan langsung praktik serangan fajar di berbagai daerah.
Baca juga:
Mahkamah Agung Gelar Tali Asih Perdana di Malang, Perkuat Hubungan Sosial Melalui Program Peduli